Senin, 20 Agustus 2012

Manusia Purba Homo Wajakensis

Oleh
Agus Ali Imron Al Akhyar


Manusia Purba Homo Wajakensis merupakan aset kesejarahan yang bernilai tinggi, sehingga perlu untuk dipublikasikan, dilestarikan, dan juga menjadi media pembelajaran peserta didik, khususnya di Tulungagung. Keberadaan Manusia Purba Homo Wajakensis sendiri merupakan peradaban tempo dulu yang dimiliki oleh daerah Tulungagung. Maka dari itulah, perlunya penggalian potensi kesejarahan yang lebih terfokus dalam penanaman karakter generasi muda Tulungagung.

Kawasan daerah di sekitar Pegunungan Kapur Selatan Tulungagung tercatat sebagai kawasan awal kehidupan dan sekaligus perkembangan kehidupan sosial-budaya Tulungagung. Sehingga adanya awal kehidupan di daerah Tulungagung tepat berada di bagian selatan itu, maka membuat transisi kehidupan hingga sekarang.

Sebelum membahas mendalam mengenai manusia purba di daerah Tulungagung yang terkenal dengan sebutan manusia Homo Wajakensis, lebih baik kita telusuri di mana tempatnya diketemukan manusia purba tersebut. Pada dasarnya mengenai letak diketemukannya manusia purba Wajakensis masih gelap. Mayoritas masyarakat mengira kalau nama daerah ”Wajak” keberadaan daerahnya berada di daerah Boyolangu yang sekarang kita kenal. Di atas sudah sedikit disinggung mengenai biografi Dubois tentang penemuan awal fosil manusia wajakensis yang berada di daerah tembang marmer.

Pada tahun 1859 M, Pegunungan Gamping selatan daerah Campurdarat, waktu itu masih disebut dengan distrik Wajak. Daerah tersebut tepatnya berada di Desa Gamping, di mana pada daerah tersebut terdapat penggalian tambang marmer. Namun apabila kita kronologikan, maka nama daerah yang dimaksud ”Wajak” pada masa penemuan situs fosil manusia purba tersebut adalah di daerah Campurdarat, Tulungagung bagian selatan.

Di daerah selatan Tulungagung, yaitu tepatnya di daerah distrik Wajak pada tahun 1889 diketemukan sisa-sisa manusia purba, termasuk jenis manusia yang paling muda, oleh para ahli digolongkan ke dalam jenis manusia cerdas (Homo Sapiens) (Anonim; 1971:6). Fosil tenggkorak manusia purba, pada tahun 1889 M baru diketemukan oleh B. D. Van Rietschouten dan penemuan fosil tersebut dinamakan dengan Wajak I. Setelah itu fosil Wajak II diketemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1890. dari situlah mulai terkuaknya tabir misteri suatu fosil manusia purba yang akhirnya dinamakan dengan sebutan manusia purba Homo Wajakensis. Manusia purba Homo Wajakensis tersebut merupakan jenis manusia muda yang digolongkan sebagai manusia cerdas dan termasuk klarifikasi dalam Homo Sapiens.

Pengumuman pertama tentang fosil manusia purba Homo Wajakensis diterbitkan tahun 1889 dalam pertemuan ”Koninklij – ke Natuurkundigo in Nederkansch – Indie” pada 13 Desember 1888, Mr. C. Ph. Sluiter tahun 1889 membaca surat dari Mr. B. D. Van Rietshouten yang isinya dia telah menemukan tengkorak manusia dan sejenisnya. Abstraksi tentang isi surat tersebut disimpan pada berkas koleksi Dubois, Rijksmuseum Van Natuurlijk Historie, Leiden. Di dalamnya termasuk sketsa tentang situs wajak yang diproduksi ulang oleh Van Briak, 1982. Surat tersebut tertanggal 31 Oktober 1888 (Majalah Bersinar Tulungagung, edisi 25/IV/April 2005). Menurut Effendhie (1999), bahwasanya manusia purba Wajakensis mempunyai tinggi badan 173 cm, manusia Wajak ini juga menunjukkan ciri-ciri ras Mongoloid dan Australomelanosoid, yang diperkirakan hidup antara 40000 sampai 25000 tahun yang lalu.

Bagi Dubois, atas penemuannya yang berupa manusia purba Homo Wajakensis tersebut, akhirnya ia tinggal di daerah Tulungagung kurang lebih selama lima tahun. Di daerah Tulungagung tersebut, ia melakukan penyisiran lagi, ditempat Rietschoten menemukan fosil tengkorak manusia, yakni di daerah cekungan bebatuan sekitar daerah Wajak. Yang menarik pada saat Dubois tinggal di daerah Tulungagung adalah ia juga sering berkunjung ke perkebunan milik orang Skotlandia yang bernama Boyd, tepatnya di daerah Pegunungan Wilis. Setelah Dubois menemukan fosil manusia purba di daerah Tulungagung Selatan (Homo Wajakensis), ia semakin berambisi untuk bisa menemukan manusia purba yang lainnya. Akhirnya ia berpindah ke berbagai tempat di daerah Jawa Timur dan daerah Jawa Tengah (http://www.athenapub.com/13intro-he-htm).

 Sudah berpuluh tahun Dubois meninggalkan Indonesia, akhirnya kuburannya yang terletak di perkebunan De Bedelaer miliknya di Kota Venlo, hanya bisa membisu. Batu nisannya yang bertahtakan fosil tempurung kepala dan dua tulang paha yang disilangkan dari Phithecantrhopus yang menjadi saksi bahwasanya Dubois adalah penemu fosil manusia purba di Indonesia (khususnya daerah Jawa Tengah dan daerah Jawa Timur) (http://www.athenapub.com/13intro-he-htm).

Adapun ciri-ciri khusus mengenai manusia purba Homo Wajakensis, menurut S. Boeddhi Sampoerno yang dituliskan dalam Majalah Bersinar Tulungagung edisi 25/IV/April 2005; bahwasanya fosil-fosil yang diketemukan di distrik Wajak tersebut dinamakan Homo Wajakensis, ciri-cirinya adalah tengkorak panjang dengan isi besar yakni Wajak I (wanita) berkapasitas 1.550 sentimeter kubik dan Wajak II (laki-laki) berkapsitas 1.650 sentimeter kubik. Isi tengkorak ini melebihi isi tengkorak manusia modern.

Tonjolan keningnya besar dan kuat seperti Australid, dahinya miring ke belakang tetapi kurang primitif, dan bagian tengah atap tengkoraknya berlunas. Mukanya lebar datar dengan tulang pipi menonjol ke samping seperti pada Mongoloid. Matanya besar, tetapi agak rendah. Ada alur di depan hidungnya, akar hidungnya melesak ke bawah dahi, tulang hidungnya sempit, kecil dan datar serta lubang hidungnya lebar. Belakang tengkoraknya membonggol dengan tempat pelekatan otot leher rata. Langit-langit mulutnya besar dan dalam, serta lebih besar dari Australid, giginya besar, tetapi dalam proporsi modern, dan lengkungannya gigi lebih kecil dan berbentuk omega. Rahang bawahnya kekar, kuat dan berat, sedangkan dagunya lemah dan miring ke belakang, lebar cabang rahang bawahnya sebanding dengan manusia Hidelbreg (Jerman). Dari tulang paha dan tulang kering dapat disimpulkan bahwa manusianya ramping dan tinggi.

Menurut Peter Bellwood (2000:125), mengatakan tengkorak-tengkorak Wajak masih menimbulkan masalah-masalah yang menarik. Banyaknya pakar menganggap tengkorak-tengkorak tersebut tergolong Australo-Melanesia dan mempunyai otak dan wajak yang besar. Hanya saja, Coon (1962) maupun Jacob (1967) mencatat kemungkinan adanya kecenderungan ciri Mongoloid yang tampak dari mukanya yang datar. Jika tarikh tersebut benar, tengkorak dari Wajak mungkin memperlihatkan beberapa tingkat kecenderungan Mongoloid untuk populasi-populasi di Jawa sebelum masa penghunian oleh penutur bahasa Austronesia. Sayangnya, kecenderungan ciri morfologis yang tepat dari tengkorak-tengkorak ini tidak begitu jelas, karena adanya berbagai masalah dalam rekontruksinya. Jika kecenderungan ciri-ciri tersebut menunjukkan aliran gen praAustronesia dari daratan Asia ke Indonesia, maka tengkorak-tengkorak Wajak itu sangat penting. Pandangan tersebut sebagian ditentang oleh Jacob (1967:51) yang pernah menganggap populasi Wajak kemungkinan adalah leluhur bersama Mongoloid Indonesia maupun Australo-Melanesia sekarang.

Untuk merangkai informasi mengenai situs manusia purba yang berada di Indonesia, khususnya dibagian selatan Tulungagung. Jacob (1967), menyatakan bahwa baru-baru ini lebih banyak lagi yang diketemukan mengenai manusia purba. Jacob beranggapan situs-situs yang paling bermasalah salah satunya adalah situs Wajak di Jawa Timur bagian selatan. Di sini, dua tengkorak diketemukan pada tahun 1888 dan 1890 – yang terakhir diketemukan oleh Dubois – dalam satu ceruk peneduh yang sekarang sudah hancur dan tidak ada bukti langsung yang tertinggal untuk penarikhan atau mengetahui konteksnya (Strom dan Nelson 1992). Untungnya, baru-baru ini dimungkinkan untuk meneliti sebuah tulang paha manusia dari situs tersebut dengan penarikhan C14 pada apatite tulang (Shutler et al. 1994), dengan hasil kira-kira 6500 BP, jadi tulang-tulang manusia dan binatang dari Wajak selayaknya dapat dianggap berumur Holosen Awal sampai pertengahan (Peter Bellwood; 2000:124-125).

Menurut Soekmono ((a)1973:29), pendapat Dubois, Homo Wajakensis itu termasuk dalam golongan bangsa Australoide, bernenek moyang Homo Soloensis dan nantinya menurunkan langsung bangsa-bangsa asli Australia itu. Menurut Voon Koenigswald, maka Homo Wajakensis itu seperti juga Homo Soloensis, asalnya dari lapisan bumi Pleistosen Atas dan mungkin sekali sudah dimasukkan dalam jenis Homo Sapiens. Ketinggian tingkatnya lebih jelas lagi dari kenyataan, bahwa berbeda dari jenis-jenis manusia tertua yang sudah disebutkan di atas, maka Homo Wajakensis itu telah di tanam (baca: dikubur), sebagaimana realitanya dari bekas-bekasnya waktu diketemukan.

Pada zaman sekarang daerah Tulungagung menjadi salah satu daerah industri tambang marmer yang terkenal hingga ke mancanegara, bisa kemungkinan juga keberadaan situs-situs manusia purba Homo Wajakensis tepatnya di gua-gua pegunungan selatan telah rusak akibat dari polah aktivitas manusia dalam menambang marmer atau batu onix. Namun apabila kita ingin melacak keberadaan situs-situs manusia purba Homo Wajakensis kemungkinan masih bisa, dengan indikasi daerahnya berada di dukuh Cerme, Campurdarat dan gua-gua di Cerme yang disebut dengan Gua Lawa.

Bukti arkeologis lain yang mengenai keberadaan kehidupan manusia purba saat itu, adalah berupa temuan hunian gua (rock sheller) di daerah Besole, di daerah Besuki yaitu Gua Song Gentong. Temuan yang didapatkan di situs gua hunian itu berupa sisa-sisa makanan, yakni cangkang kerang (Gastropoda) dan juga tulang-tulang binatang sebagai sampah dapur. Selain tempat-tempat itu, bukti serupa pernah diketemukan di situs Gua Pasetran Gondomayit yang tepatnya di dusun Ngelorejo, desa Janglungharjo, Kecamatan Tanggunggunung, Kabupaten Tulungagung.

Adanya gua-gua yang berada di Pegunungan Selatan Tulungagung tersebut, sebagai tempat tinggal atau adanya sebuah kehidupan manusia purba Homo Wajakensis. Sebab dimungkinkan gua-gua yang keberadaannya tidak jauh dari pantai selatan tersebut menjadi tempat tinggalnya, karena sewaktu-waktu mereka tidak jauh dalam mencari makanan yang berupa kerang-kerang atau ikan. Daerah Wajak relatif tidak jauh dari keberadaan rawa-rawa ataupun Samudera Hindia. Rawa Bening salah satunya, dimungkinkan memang rawa tersebut merupakan rawa yang terjadi semasa dengan terjadinya Gunung Gamping di daerah tersebut.

Namun tidak hanya keberadaan manusia Homo Wajakensis saja yang ada, melainkan kehidupan di Pegunungan Kapur Selatan Tulungagung telah dihuni berbagai jenis makhluk binatang seperti antelope, babi hutan, kijang, rhino, dan juga berbagai jenis kera. Sehingga kalau ditarekhkan pada masa manusia purba Wajakensis sudah mengenal kultur, sosio dan ekonomis. Secara tidak langsung maka manusia purba tersebut sudah mampu untuk mengolah lingkungan Pegunungan Kapur Selatan Tulungagung.

Dengan banyaknya gua-gua yang terdapat dibagian selatan daerah Tulungagung tentunya kita dapat menafsirkan, bahwasanya kehidupan manusia purba pada zaman dahulu memang sudah ada di daerah tersebut, bukti dan data yang ada, sudah menjadi pengukuhan bagi dunia kesejarahan bahwasanya daerah Tulungagung menjadi salah satu penyokong kesejarahan internasional, dengan pernah diketemukannya fosil manusia purba yang akhirnya diberi nama Homo Wajakensis. Temuan manusia purba Homo Wajakensis, mengisyaratkan pada kita bahwa sekitar 40000 tahun silam, khususnya daerah Tulungagung bagian selatan telah di diami oleh manusia purba Homo Sapiens yang tergolong dalam Ras Wajak, tentunya berbeda dengan ras manusia sekarang pada umumnya yang bertempat tinggal di kawasan tersebut.

Kalau ditinjau dalam segi kebudayaan, Homo Wajakensis sudah mempunyai unsur budaya. Menurut Soekmono ((a)1973:14), kebudayaan dewasa sekarang ini adalah hasil dari pertumbuhan dan perkembangan di waktu yang lalu (sekali-kali bukan menjadi pengganti, melainkan lanjutan). Maka untuk mengetahuinya dan mengenalnya, lebih-lebih untuk dapat menyelaminya dengan benar, perlulah ditinjau dari sejarahnya.

Menurut manuskrip Sejarah dan Babad Tulungagung (1971), bahwasanya dasar penguburan adalah erat kaitannya dengan sebuah kepercayaan, yaitu suatu usaha untuk melindungi ruh-ruh dari gangguan alam (lingkungan) atau binatang buas serta faktor-faktor lain. Maka dari itu, kalau memang benar manusia purba Homo Wajakensis tersebut sudah mengenal penguburan, berarti mereka sudah mengenal usaha untuk melindungi hidup mereka, yaitu berburu untuk menjamin kelangsungan kehidupannya, mendirikan tempat tinggal untuk berteduh dan melindungi dari gangguan dan liarnya binatang buas. Dalam hal ini tidak mustahil apabila gua-gua yang terdapat di daerah Wajak pada masa dahulunya juga merupakan tempat tinggal bagi manusia-manusia purba seperti Homo Wajakensis.

Corak kebudayaan yang ada masa manusia purba sangatlah unik dan perlu untuk diketahui. Kala itu manusia antara lain telah mengenal logam. Budaya prasejarah yang pernah terdeteksi di kawasan Tulungagung Selatan diantaranya pernah diketemukan sarkofagus di situs Darungan di desa Kalibatur Kecamatan Kalidawir. Pada saat diketemukan oleh penduduk setempat sekitar tahun 1978, didapati wadah kubur itu masih lengkap dengan bagian tutup yang terbuat dari batuan gamping berwarna kekuningan. Salah satu ujungnya dipahat meruncing, yang serupa dengan lunas perahu. Didalam lubang bagian atas sarkofagus itu terdapat kerangka manusia dan bekal kubur atau burial gift yang berupa manik-manik dan senjata dari bahan besi.

Budaya semacam bekal kubur maupun perahu lunas yang menyerupai perahu arwah, hal itu merupakan salah satu kebudayaan khas masa megalitikum yang pernah ada di Tulungagung zaman prasejarah. Dalam kaitan hal serupa pada tahun 1982 di dusun Nglempong, desa Gamping juga pernah diketemukan sisa-sisa tulang manusia yang berupa tengkorak dan fragmen tulang serta manik-manik dan juga benda yang terbuat dari perunggu.

Maka dari itulah, jejak-jejak sejarah zaman prasejarah yang ada di daerah Tulungagung perlu untuk didokumentasikan dalam rangka demi masa depan generasi muda maupun pelajar untuk bisa mengetahui dan mencintai daerahnya. Tulungagung yang kini sudah berkembang pesat dalam berbagai sektor, kita sebagai generasi muda Tulungagung setidaknya mengetahui, memahami, mencintai, dan menyayangi kesejarahan lokal Tulungagung yang merupakan tempat kelahiran.