Selasa, 13 November 2012

MITOS DAN LEGENDA CANDI PENAMPIHAN

Oleh 
Agus Ali Imron Al Akhyar



Nama kompleks candi ini berasal dari cerita rakyat dengan sebutan nama “Penamp’an atau Penampikan”. Nama ini berasal dari kata “Tampik”, yang diangkat dari sebuah cerita yang menyebutkan pada suatu ketika seorang pembesar dari Ponorogo bermaksud melamar dan menikahi putri dari Kerajaan Kediri yang bernama Dewi Kilisuci yang sangat cantik dan mempesona setiap laki-laki memandangnya.


Pembesar beserta rombongannya berangkat menuju kerajaan Kediri lengkap dengan membawa semua perangkat yang diperlukan untuk sebuah pesta pernikahan. Sebelumnya sampai ke Kerajaan Kediri, Sang pembesar dari  Ponorogo menyuruh kurirnya untuk menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan pembesar Ponorogo, yaitu dalam rangka untuk menikahi Dewi Kilisuci, akan tetapi kenyataannya Dewi Kilisuci menolak terhadap lamaran pembesar Ponorogo tersebut. Akibat dari penolakkan terhadap niat kawin dari Pembesar Ponorogo, akhirnya pembesar tersebut merasa takut untuk kembali ke kampong halamannya. Kemudia pembesar tersebut mendirikan sebuah candi atau bangunan suci dan menghabiskan waktunya di tempat suci tersebut. Tempat bangunan tersebut diberi nama Penampe’an atau Penampikan yang letaknya sekarang di Desa Geger-Sendang.

Melihat bangunan tersebut dengan kondisi dimabuk cinta, maka candi itu dikenal dengan sebutan sebagai candi “Asmara Bangun” dan saat pendirian candi tersebut diadakannya pagelaran wayang Ringgit semalam suntuk. Saat itulah Sang Pembesar Ponorogo dan pengikutinya hidup dengan ketentraman bersam alam. Dari itu Candi Penampihan dijadikan sebagai tempat pemujaan.

Bentuk Candi Penampihan
Candi Penampihan terdiri dari tiga teras dengan ketinggian 974 m. Pertama, yaitu teras bawah sendiri adalah tempat berdirinya Prasasti Trinulad, yang penulisan dan bahasanya menggunakan Jawa Kuno. Prasasti itu bertahun 820 C/898 M. Tokoh yang naik tahta Kerajaan Mataram kuno, karena perkawinan itu diyakini memang meluaskan kekuasaan ke Jawa Timur. Prasasti tersebut dinamakan prasasti trinulad, karena menurut pendapat ahli yang menyatakan bahwa prasati itu merupakan copyan prasasti yang pembuatannya lebih ditekankan pada unsur legitimasi seorang penguasa atau raja.

Prasasti tersebut menyebutkan seorang Raja Putri dan menyebutkan Mahesa Lalatan. Kemudian dibawahnya prasasti trinulad terdapat bangunan semacam altar yang disusun dari batuan andesit berdenah lonjong. Ukuran altar tersebut, panjang 5 m, lebar 2,5 m, dan tinggi 1,5 m. Didepan prasasti trinulad itu terdapat arca bima yang sekarang sudah tidak ada kepalanya dan terdapat 2 Duara Juala, yaitu 2 buah arca tokoh wanita dan sebuah bola batu sudah tidak ada dilokasi. Selain itu ada prasasti yang dipahat di atas 7 lempengan tembaga ini dikenal dengan prasasti Sarwadharma yang berangka tahun (1191 C) dan dikeluarkan tepatnya pada tanggal 31 Oktober 1269, dan dapat diketahui pula bahwa kerukunan Candi Penampihan, berhubungan dengan tokoh Kertanegara. Kertanegara merupakan tokoh yang mengubah upacara keagamaan serta segala upacara agama yang mati dihidupkan kembali.

Pada teras ke-2 hanya terdapat Makara bermahkota dan pada teras ke-3, yaitu teras paling atas terdapat sebuah tangga masuk di tengah yang menghubungkan teras kedua dengan ketiga. Pada teras ketiga terdapat tiga buah bangunan yang berada di tengah tepat di depan tangga masuk berupa candi induk berbentuk kura dengan ukuran panjang 9,70 m, lebar 4,90 m, dan tinggi 1,10 m. Bangunan tersebut berbahan andesit dan batu bata sebagai tulisannya.

Dibagian atas banguna kura-kura raksasa ini pernah diketemukan sebuah prasasti berangka tahun 1382 C dan sebuah arca tokoh wanita dengan angka tahun 1116 C. Di atasnya candi induk terdapat sepasang arca naga bermahkota, kepala garuda, sepasang kera, didepannya candi induk terdapat Retjo Pentung Juala Pala. Disebalah kirinya candi induk tepatnya di sebelah selatannya terdapat sebuah relief hewan seperti; kodok, celeng, macan dan yang lainnya. Intinya semua hewan yang ada pada hutan tersebut dan relief yang menggambarkan tiga gajah untuk membajak, tetapi sekarang relief tersebut dipindahkan di musem Trowulan Mojokerto. Mayoritas situs tersebut sudah hilang dan yang lainnya dipindahkan ke musem Mojokerto agar aman.